Kisah Sahabat Nabi - Sobat
Berita Islam, Kali ini tentang Sahabat Nabi Yang Mati Syahid Tapi Masih
Hidup. Semoga Artikel ini dapat menambah keimanan kita Kepada Allah
SWT, dengan mencontoh para Sahabat Nabi Yang Mulia.
Berikut Kisah Sahabat Nabi Yang Mati Syahid Tapi Masih Hidup :
Rasulullah bersabda :
“Siapa yang ingin melihat orang berjalan di
muka bumi setelah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah,”
Sejak saat itu bila orang membicarakan perang
Uhud di hadapan Abu Bakar, maka beliau selalu menyahut, “Perang hari itu adalah
peperangan Thalhah seluruhnya. Hingga akhir hayatnya, perjuangan sahabat mulia
itu tak kenal henti. Sebuah sejarah besar diukir, sejarah itu bernama Thalhah
bin Ubaidillah.”
Nama lengkapnya adalah Thalhah bin Ubaidillah
bin Utsman bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin
Lu’ai. Ibunya bernama Ash-Sha’bah binti Abdullah bin Abbad bin Malik, saudara perempuan
Al-‘Ala’ bin Al-Hadrami. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai seorang
muslimah.
Thalhah seorang pemuda Quraisy yang memilih
profesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah punya kelebihan dalam
strategi berdagang, ia cerdik dan pintar, hingga dapat mengalahkan
pedagang-pedagang lain yang lebih tua.
THALHAH
MEMELUK ISLAM
Pada suatu ketika Thalhah bin Ubaidillah dan
rombongan pergi ke Syam. Di Bushra, Thalhah bin Ubaidillah mengalami peristiwa
menarik yang mengubah garis hidupnya.
Tiba-tiba seorang pendeta berteriak-teriak,
“Wahai para pedagang, adakah di antara
tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?.”
“Ya, aku penduduk Makkah,” sahut Thalhah.
“Sudah munculkah orang di antara kalian orang
bernama Ahmad?” tanyanya.
“Ahmad yang mana?“, Thalhah menjawab.
“Ahmad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan
ini pasti muncul sebagai Nabi penutup para Nabi. Tempat munculnya adalah tanah
haram, kelak ia akan hijrah dari negerimu ke negeri berbatu-batu hitam yang
banyak pohon kurmanya. Ia akan pindah ke negeri yang subur makmur, memancarkan
air dan garam. Sebaiknya engkau segera menemuinya wahai anak muda,” sambung
pendeta itu.
Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati
Thalhah bin Ubaidillah, hingga tanpa menghiraukan kafilah dagang di pasar ia
langsung pulang ke Makkah. Setibanya di Makkah, ia langsung bertanya kepada
keluarganya,
“Ada peristiwa apa sepeninggalku?”
“Ada Muhammad bin Abdullah mengatakan dirinya
Nabi dan Abu Bakar bin Abu Quhafah telah mempercayai dan mengikuti apa yang
dikatakannya,” jawab mereka.
“Aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang
dada, penyayang dan lemah lembut. Dia pedagang yang berbudi tinggi dan teguh.
Kami berteman baik, banyak orang menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah
Quraisy,” gumam Thalhah bin Ubaidillah lirih.
Setelah itu Thalhah bin Ubaidillah langsung
mencari Abu Bakar As Siddiq.
“Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi
Nabi dan engkau mengikutinya?“, Thalhah bertanya
“Betul.“, jawab Abu Bakar.
Thalhah segera menemui Abu Bakar untuk
menanyakan kebenaran berita tersebut.
Thalhah bin Ubaidillah bercerita tentang
pertemuannya dengan pendeta Bushra. Abu Bakar As Siddiq tercengang. Lalu Abu
Bakar As Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk menemui Muhammad dan
menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan pendeta Bushra. Di hadapan
Rasulullah, Thalhah bin Ubaidillah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.
Tanggapan
Keluarga Thalhah terhadap Keislamannya
Bagi keluarganya, masuk Islamnya Thalhah bin
Ubaidillah bagaikan petir di siang bolong. Keluarganya dan orang-orang satu
sukunya berusaha mengeluarkannya dari Islam. Mulanya dengan bujuk rayu, namun
karena pendirian Thalhah bin Ubaidillah sangat kokoh, mereka akhirnya bertindak
kasar.
Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh anak
muda yang santun itu. Sekelompok pemuda menggiringnya dengan tangan terbelenggu
di lehernya, orang-orang berlari sambil mendorong, memecut dan memukuli
kepalanya, dan ada seorang wanita tua yang terus berteriak mencaci maki Thalhah
bin Ubaidillah, yaitu ibunya, Sha’bah binti Hadramy, saudara dari seorang
sahabat Rasulullah Saw, Ala’ bin Hadramy. Walau disakiti dan dipermalukan oleh
orang yang sangat dicintai dan dihormatinya, keyakinan dan keimanannya tidak bergeming.
Bagaimanapun juga Allah SWT dan Nabi SAW lebih dicintainya daripada ibu dan
sanak keluarganya yang lain
Setelah keislamannya diketahui oleh
orang-orang Quraisy, Nufail bin Khuwailid, salah seorang pembesar yang terkenal
dengan sebutan ‘Singa Quraisy’ mencari-cari dirinya. Mereka bertemu Thalhah
sedang berjalan dengan Abu Bakar yang segera saja keduanya ditangkap dan
disiksa. Mereka berdua diikat dengan satu tambang, kemudian diancam dan
diintimidasi. Tetapi mereka tidak berani bertindak terlalu keras dan kejam
karena khawatir dengan pembalasan dari kabilahnya Abu Bakar dan Thalhah.
Setelah berbagai ancaman dilakukan, dari yang
halus hingga keras tidak juga berhasil, akhirnya mereka melepaskannya kembali.
Karena peristiwa ini, Abu Bakar dan Thalhah disebut sebagai ‘Al Qarinain’,
artinya dua setangkai.
Thalhah bin Ubaidillah termasuk dalam as
sabiqunal awwalin (kelompok yang pertama memeluk Islam), ia juga salah satu
dari sepuluh sahabat yang memperoleh berita gembira masuk surga ketika
hidupnya. Sembilan lainnya adalah empat sahabat Khulafaur Rasyidin, Abdurrahman
bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubair bin Awwam dan Abu Ubaidah
bin Jarrah.
Peran
Thalhah dalam Perang Badar
Setelah hijrah ke Madinah, Thalhah hampir
tidak pernah tertinggal berjuang bersama Rasulullah SAW, kecuali pada Perang
Badar. Pada perang ini Thalhah dan Sa’id bin Zaid dikirimkan Rasulullah Saw
untuk tugas mata-mata ke suatu tempat. Namun demikian beliau memasukkannya
sebagai Ahlu Badar dan memberi mereka bagian dari ghanimah perang Badar. Ada
delapan orang sahabat yang tidak secara langsung terlibat dalam perang Badar
tetapi Rasulullah Saw menempatkannya sebagai Ahlu Badar sebagaimana pahlawan
Badar lainnya, yang mendapat pujian dalam Al Qur’an. Selain Thalhah dan Sa’id
bin Zaid, adalah Utsman bin Affan, Abu Lubabah, Ashim bin Adi, Harits bin
Hathib, Harits bin Shimmah dan Khawwat bin Jubair R.Hum.
PERAN
DAN GELAR THALHAH DALAM PERANG UHUD
Julukan Assyahidul Hayy, atau syahid yang
hidup diperoleh Thalhah dalam perang Uhud. Saat itu barisan kaum Muslimin
terpecah belah dan kocar-kacir dari sisi Rasulullah. Yang tersisa di dekat
beliau hanya 11 orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah dari Muhajirin.
Rasulullah dan orang-orang yang mengawal beliau naik ke bukit tadi dihadang
oleh kaum Musyrikin.
“Siapa berani melawan mereka, dia akan
menjadi temanku kelak di surga,” seru Rasulullah. “Aku Wahai Rasulullah,” kata
Thalhah bin Ubaidillah. “Tidak, jangan engkau, kau harus berada di tempatmu.“,
Rasulullah berkata.
“Aku wahai Rasulullah,” kata seorang prajurit
Anshar menjawab panggilan Rasulullah. “Ya, majulah,” kata Rasulullah. Lalu
prajurit Anshar itu maju melawan prajurit-prajurit kafir. Pertempuran yang tak
seimbang mengantarkannya menemui kesyahidan.
Rasulullah kembali meminta para sahabat untuk
melawan orang-orang kafir dan selalu saja Thalhah bin Ubaidillah mengajukan
diri pertama kali. Tapi, senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkan
untuk tetap ditempat sampai 11 prajurit Anshar gugur menemui syahid dan tinggal
Thalhah bin Ubaidillah sendirian bersama Rasulullah.
Saat itu Rasulullah berkata kepada Thalhah
bin Ubaidillah,”Sekarang engkau, wahai Thalhah.”
Dan majulah Thalhah bin Ubaidillah dengan
semangat jihad yang berkobar-kobar menerjang ke arah musuh dan menghalau agar
jangan menghampiri Rasulullah. Lalu Thalhah berusaha menaikkan Rasulullah
sendiri ke bukit, kemudian kembali menyerang hingga tak sedikit orang kafir
yang tewas.
Diceritakan ketika tentara Muslim terdesak
mundur dan Rasulullah SAW dalam bahaya akibat ketidakdisiplinan pemanah-pemanah
dalam menjaga pos-pos di bukit, di saat itu pasukan musyrikin bagai kesetanan
merangsek maju untuk melumat tentara muslim dan Rasulullah SAW, terbayang di
pikiran mereka kekalahan yang amat memalukan di perang Badar. Mereka
masing-masing mencari orang yang pernah membunuh keluarga mereka sewaktu perang
Badar dan berniat akan membunuh dan memotong-motong dengan sadis.
Semua musyrikin berusaha mencari Rasulullah
SAW. Dengan pedang-pedangnya yang tajam dan mengkilat, mereka terus mencari
Rasulullah SAW. Tetapi pasukan muslimin dengan sekuat tenaga melindungi
Rasulullah SAW, melindungi dengan tubuhnya dengan daya upaya, mereka rela
terkena sabetan, tikaman pedang dan anak panah. Tombak dan panah menghunjam
mereka, tetapi mereka tetap bertahan melawan kaum musyrikin Quraisy. Hati
mereka berucap dengan teguh, “Aku korbankan ayah ibuku untuk engkau, ya
Rasulullah”.
Salah satu diantara mujahid yang melindungi
Nabi SAW adalah Thalhah. Ia berperawakan tinggi kekar. Ia ayunkan pedangnya ke
kanan dan ke kiri. Ia melompat ke arah Rasulullah yang tubuhnya berdarah.
Dipeluknya Beliau dengan tangan kiri dan dadanya. Sementara pedang yang ada
ditangan kanannya ia ayunkan ke arah lawan yang mengelilinginya bagai laron
yang tidak memperdulikan maut. Alhamdulillah, Rasulullah selamat. Sejak
peristiwa Uhud itulah Thalhah mendapat julukan “Burung elang hari Uhud.”
Saat itu
Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang berada agak jauh dari
Rasulullah telah sampai di dekat Rasulullah. “Tinggalkan aku, bantulah Thalhah,
kawan kalian,” seru Rasulullah.
Keduanya bergegas mencari Thalhah bin
Ubaidillah, ketika ditemukan, Ia dalam keadaan pingsan, sedangkan badannya berlumuran
darah segar. Tak kurang 79 luka bekas tebasan pedang, tusukan lembing dan
lemparan panah memenuhi tubuhnya dan jari tangannya putus.”
Keduanya mengira Thalhah sudah gugur,
ternyata masih hidup. Karena itulah gelar syahid yang hidup diberikan Rasulullah.
“Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi setelah mengalami
kematiannya, maka lihatlah Thalhah,”sabda Rasulullah.
Sejak saat itu bila orang membicarakan perang
Uhud di hadapan Abu Bakar As Siddiq, maka beliau selalu menyahut, “Perang hari
itu adalah peperangan Thalhah seluruhnya hingga akhir hayatnya.”
PRIBADI
YANG PEMURAH DAN DERMAWAN
Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin
Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia mempunyai
tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa. Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah seorang dari
sepuluh orang yang pertama masuk Islam, dimana pada saat itu satu orang
bernilai seribu orang.
Sejak awal keislamannya sampai akhir hidupnya
dia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal
sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Pernahkah anda
melihat sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah?
Begitulah Thalhah bin Ubaidillah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang
kaya raya, tapi pemurah dan dermawan.
Pernah Thalhah berhasil menjual tanahnya
dengan harga tinggi sehingga harta bertumpuk di rumahnya, maka mengalirlah air
matanya, dan ia berkata,
“Sungguh, jika seseorang ‘dibebani’ bermalam
dengan harta sebanyak ini dan tidak tahu apa yang akan terjadi, pastilah akan
mengganggu ketentraman ibadahnya kepada Allah…!”
Malam itu juga ia memanggil beberapa
sahabatnya dan membawa harta tersebut berkeliling di jalan-jalan di kota
Madinah untuk membagikan kepada yang memerlukan. Sampai fajar tiba belum habis
juga, dan diteruskan setelah shalat
subuh hingga menjelang siang. Ia baru merasa lega setelah tidak tersisa lagi
walau hanya satu dirham.
Assaib bin Zaid berkata tentang Thalhah bin
Ubaidillah, katanya, “Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun
sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia
terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya.”
Jaabir bin Abdullah bertutur, “Aku tidak
pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta.”
Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki
“Thalhah si dermawan”, “Thalhah si pengalir harta”, “Thalhah kebaikan dan
kebajikan”.
WAFATNYA
THALHAH BIN UBAIDILLAH
Berlalulah waktu, Rasulullah wafat dan
digantikan Abu Bakar, Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar. Selama itu
irama hidupnya tidak banyak berbeda, memanggul senjata untuk menegakkan panji
Islam atau menjalankan perniagaannya. Selama itu pula ia terus menunggu kapan
penantiannya akan berakhir? Kapan “syahid” yang berjalan di muka bumi (yakni
dirinya, sebagaimana disebut Rasulullah Saw)
akan menjadi benar-benar syahid?
Thalhah akhirnya menemui syahidnya di perang
Jamal di masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Ironinya, dalam peperangan tersebut
ia bersama Zubair bin Awwam dan Ummil Mukminin Aisyah memimpin pasukan dari
Bashrah untuk melakukan perlawanan
kepada Ali bin Abi Thalib, dengan dalih menuntut balas kematian Utsman. Padahal
beberapa waktu sebelumnya mereka ikut memba’iat Ali sebagai khalifah. Inilah
memang dahsyatnya bahaya fitnah, sehingga orang-orang terpilih di masa
Rasulullah SAW saling berperang satu sama lainnya.
Ada perbedaan pendapat tentang syahidnya
Thalhah. Satu riwayat menyebutkan, ketika pertempuran mulai berlangsung dan
dari kedua pihak berjatuhan korban tewas, Ali menangis dan menghentikan
pertempuran, padahal saat itu posisinya dalam keadaan menang. Ali meminta
kehadiran Thalhah dan Zubair untuk melakukan islah. Ali mengingatkan Thalhah
dan Zubair berbagai hal ketika bersama Rasulullah SAW, termasul ramalan-ramalan
beliau tentang mereka bertiga. Thalhah dan Zubair menangis mendengar penjabaran
Ali dan seolah diingatkan akan masa-masa indah bersama Rasulullah SAW. Apalagi
saat itu mereka melihat Ammar bin Yasir ikut bergabung dalam pasukan Ali. Masih
jelas terngiang di telinga mereka sabda Nabi SAW ketika kerja bakti membangun
masjid Nabawi, “Aduhai Ibnu Sumayyah (yakni, Ammar bin Yasir), ia akan terbunuh
oleh kaum pendurhaka…..!!”
Kalau terus memaksakan pertempuran ini,
jangan-jangan mereka menjadi “kaum pendurhaka” tersebut. Thalhah dan Zubair
memutuskan menghentikan pertempuran dan ia menyarungkan senjatanya,
kemudian berbalik menemui pasukannya.
Tetapi ada anggota pasukan yang tidak puas dengan keputusan ini dan mereka memanah dan menyerang keduanya hingga tewas.
Sebagian riwayat menyebutkan penyerangnya dari pasukan Ali, riwayat lain dari
pasukan Bashrah sendiri.
Sedangkan riwayat lain menyebutkan,
pertempuran berlangsung seru dan pasukan Bashrah dikalahkan oleh pasukan Ali,
Thalhah dan Zubair bin Awwam gugur menemui syahidnya.
Sewaktu terjadi pertempuran “Aljamal (Perang
Unta)” tersebut, sebuah panah beracun mengenai betisnya, maka dia segera
dipindahkan ke Basrah dan tak berapa lama kemudian karena lukanya ia wafat.
Thalhah bin Ubaidillah wafat pada usia enam puluh tahun dan dikubur di suatu
tempat dekat padang rumput di Basrah.
Dia wafat dalam usia lebih kurang 60
tahun.Talhah bin Ubaidillah meninggal dunia pada tahun 36 Hijrah bersamaan 656
Masehi.
Sesungguhnya Thalhah bin Ubaidillah berharap
bisa gugur ketika berjuang bersama Rasulullah saw saat menghadapi musuh Islam.
Namun, ketentuan Ilahi menghendaki dia tewas di tangan orang Islam sendiri.
Rasulullah pernah berkata kepada para
sahabat, “Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang melihat seorang
syahid berjalan diatas bumi maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah”.
Hal itu juga dikatakan ALLAH SWT dalam
firmanNya :
0 komentar:
Post a Comment